Jumat, 31 Mei 2019

DARI AL HALAJ ,ABU YAZID AL BUSTHAMI & SYEIKH SITI JENAR



Al Hallaj dan Abu Yazid Al Busthami mengatakan,“Anal haqq” (Akulah kebenaran), “Subahaani maa a’dhomi sya’ni” (Maha suci aku dan betapa agung keberadaanku), “Maa fil jubbati illa allahu” (Tid]ak ada dalam jubahku ini kecuali Allah).Hal ini juga pernah dialami Syaikh Lemah Abang ketika dipanggil oleh Sunan Kudus,“wahai Syaikh Siti Jenar”,Dan beliau menjawab ,Syaikh Siti Jenar tidak ada, yang ada hanya Allah” Ketika mengucapkan kata Itu, Syaikh Siti Jenar  menyaksikan bahwa  wujudnya sudah tidak ada lagi, Yang ada hanyalah Allah semata. Dirinya sudah tidak nampak lagi, Yang nampak hanya Allah semata 

Di dalam Serat Centini disebutkan :

Dialog Syeikh Siti Jenar dengan Maulana Al Magribi sebagai berikut

Seh Molana mangkya angling, Siti Jenar nama tuwan, Siti Jenar mangkya turre, ingih Allah jenengamba, nora na Allah ika, anging siti Jenar iku, sirna Jenar Allah ana.

Syeh Maulana (Maghribi) lantas berkata,
Benarkah nama tuan Siti Jênar? Siti Jênar lantas menjawab, Allah namaku, tiada lagi Allah lain, yang mawjud dalam Siti Jênar, sirna Siti Jênar hanya wujud Allah yang nyata.

Molana Ngaribbi*) angling, kapkir dadi Siti Jenar, Aji Cempa angling alon, kapir dana Siti Jenar, Islamipun indalah, kapir danas wong puniku, punika kapir sampurna.

Maulana Maghribi berkata, Siti Jênar telah kafir, seluruh keturunan orang besar Champa berkata pelan, Siti Jênar telah kafir dalam pandangan manusia, tetapi entah didepan Allah, nyata telah kafir dalam pandangan manusia, dan orang seperti inilah patut disebut kafir.

Molana Mahribi angling, suhunan (n)daweg winejang, masjid dalem suwung kabeh, ana bekti ana ora, temah ngrusak agama, aggegampang temahipun, kang salah (n)daweg pinedhang.

Maulana Maghribi berkata, Wahai para Wali percuma kalian mengajar jika demikian, seluruh masjid kalian akan kosong, sedikit yang akan sembahyang disana, agama akan rusak, semua orang akan menggampangkan, sepatutnya yang salah harus dihukum dengan pedang.

(Sumber Serat Centini Jilid I.dumugi 14,dumugi 44 KGAA Mangkunegaran III )

Kamis, 30 Mei 2019

PENGGALAN SYAIR AL HALAJ



PENGGALAN SYAIR AL HALAJ

**********************************
Sebelumnya tidak mendahului-Nya,
setelah tidak menyela-Nya,
daripada tidak bersaing dengan Dia dalam hal keterdahuluan,
dari tidak sesuai dengan Dia,
ketidak menyatu dengan dia,
Dia tidak mendiami Dia,
kala tidak menghentikan Dia,
jika tidak berunding dengan Dia,
atas tidak membayangi Dia,
dibawah tidak menyangga Dia,
sebaliknya tidak menghadapi-Nya,
dengan tidak menekan Dia,
dibalik tidak mengikat Dia,
didepan tidak membatasi Dia,
terdahulu tidak memameri Dia,
dibelakang tidak membuat Dia luruh,
semua tidak menyatukan Dia,
ada tidak memunculkan Dia,
tidak ada tidak membuat Dia lenyap,
penyembunyian tidak menyelubungi Dia,
pra-eksistensi-Nya mendahului waktu,
adanya Dia mendahului yang belum ada,
kekalahan-Nya mendahului adanya batas.

**********************************

Di dalam kemuliaan tiada aku,
atau Engkau atau kita,
Aku, Kita, Engkau dan Dia seluruhnya Tunggal

WEJANGAN SYEIKH SITI JENAR BAG.037 S/D 040



140 WEJANGAN SYEIKH SITI JENAR

Bagian 037 s/d 040

037. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah wujud Allah, yaitu tempat berkumpulnya seluruh jagad makrokosmos, dunia akhirat, surga neraka,arsy kursi, loh kalam, bumi langit, manusia, jin, iblis laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu tunggal di pucuknya jantung, yang disebut alam khayal (ala al-khayal). Disebut Imannya Nur Cahaya.

038. Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam itu tunggal, yang beraneka ragam.

039. Iradat artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan/keberadaan, yang lepas jauh dari panca indra bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.

040. Inilah maksudnya syahadat: Asyhadu berarti jatuhnya rasa, Ilaha berarti kesetiaan rasa, Ilallah berarti tunggalnya rasa, Muhammad hasil karya yang maujud dan Pangeran berarti kesejatian hidup.

PENGERTIAN MUKASYAFAH

 

 MUKASYAFAH

Mukasyafah merupakan salah satu cara dari proses menuju Ma’rifatulloh. Ma’rifat memiliki hubungan erat dengan mukasyafah. Dimana merupakan ajaran atau jalan menuju kesucian jiwa untuk memasuki hadharat Al-qudsiyat (hadirat kesucian) atau hadharat ar-rububiyat atau hadirat ketuhanan. Dalam keadaan seperti itu manusia bisa memperoleh kepuasan intelektual hakiki yang tak terlukiskan. Namun mukasyafah dapat terhalang oleh hati yang sifatnya qolb atau selalu berbolak balik dengan segala keinginan,kemauan,resah,gelisah bimbang dan ragu.Oleh karenanya pada kesempatan kali ini mari kita coba menguraikan apa itu mukasyafah, bagaimana terjadinya mukasyafah, dan penghalang mukasyafah.

Mukasyafah secara lughawi (bahasa), istilah mukasyafah bermakna terbukanya tirai, atau peristiwa ketersingkapan dan keterbukaan tabir penghalang, maksudnya adalah terbuka segala rahasia alam yang tersembunyi, pengertian atau hal yang gaib. Mukasyafah berarti kondisi keterbukaan hati sehingga dapat menyingkap atau mengetahui hakikat sesuatu.

Istilah ini berasal dari kata “kasyf” berarti tersingkap atau terbuka dari tabir. Kasyf merupakan uraian tentang apa yang tertutup bagi pemahaman, kemudian tersingkap bagi seseorang seakan-akan dia melihat dengan mata telanjang meskipun pada hakikatnya adalah mata batin. Kasyf merupakan keterbukaan rahasia-rahasia pengetahuan hakiki.

Dalam kitab Risalah Al-Qusyairiah dijelaskan tentang mukasyafah yaitu, “Mukasyafah adalah hadirnya dengan sifat yang jelas, yang dalam keadaan ini tidak memerlukan pemikiran dengan dalil”. Dalam Tafsir al-Qurthubi, di jelaskan:“Maka terbukalah hijab (tutupan), lalu mereka melihat kepada-Nya. Demi Allah, tidak pernah Allah memberikan kepada mereka sesuatu yang amat menyenangkan mereka, kecuali penglihatan itu (mukasyafah)”. 

Dahlan (Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampesi Al-Qadiry), dalam kitabnya Siraj Ath-Thalibin mengatakan, “bahwa ilmu mukasyafah adalah nur yang nyata di dalam hati ketika pembersihannya, maka tampaklah di hati itu pengertian-pengertian menyeluruh merupakan hasil makrifatullah ta’ala, makrifat kepada asma-Nya, sifat-Nya, kitab-kitab-Nya dan makrifat kepada rasul-rasul-Nya dan terbukalah segala tutpan dari segala rahasia-rahasia yang tersembunyi “. Di dalam kitab ihya ‘ulumuddin, “ beserta penjelasannya mengemukakan titik rahasia-rahasia yang terbuka inilah yang diperintahkan menyembunyikannya karena tidak ada tertulis dalam kitab-kitab. Sesungguhnya hal itu adalah rangkuman segala ilmu perasaan (djauqy) yang terbuka cerah didapat dari musyahadah tanpa dalil dan keterangan”.

Selanjutnya Syaikh AL-Kiram ‘Alimul “Allamah Muhammad Ihsan Dahlan Al-Jampesi Al-Qadiry menegaskan bahwa mukasyafah itu bersumber dari hadits Rasulullah SAW yang dijelaskan sebagai berikut ini : “Dalam hal ini adalah ilmu yang amat halus atau tersembunyi yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya bahwa: “Sesungguhnya ilmu itu adalah laksana barang berharga yang tersimpan. Tak ada yang dapat memahaminya kecuali golongan ‘arif billah. Bila mereka bicara tentang ilmu itu, tidak ada yang menyepelekannya kecuali golongan ‘ightirar (berhati lalai).”
Kasyf atau Mukasyafah baru akan diperoleh setelah adanya ilham,laduni dalam bashiroh,muhatthab dan rukyatus shodiq.yang terjadi pada jiwa yang mutmainnah yaitu jiwa yang tenang tenteram.


Al-Ghazali menyebutkan bahwa kasyf adalah epistemology pengetahuan yang tertinggi karena terbukanya cahaya-cahaya atau informasi-informasi ghaib ke dalam jiwa manusia. Jadi, kasyf adalah pemahan intuitif yang berbeda dengan pemahaman inderawi dan pemahaman rasional.

Al-Kasyf merupakan kebalikan dari pembuktian rasional yang diyakini oleh kalangan teolog dan filosof. Al-Kasyf berhak disandang oleh qalb, sedangkan pengetahuan sensual dan rasional lebih berhak diperoleh indera dan akal manusia.

Menurut Risalah Al-Qusyairiah mukasyafah terjadi setelah muhadharah. Dimana muhadharah berarti kehadiran kalbu, setelah itu baru mukasyafah, yakni kehadiran kalbu dengan sifat nyatanya, lalu musyahadah, yaitu hadirnya Al-Haq terang ,jelas,terang,tanpa memerlukan pemikiran,dalil atau burhan dan bertahap muhadharah selalu terikat dengan ayat-ayat-Nya. Dan orang yang mukasyafah terhampar oleh Sifat-sifat-Nya. Sedangkan orang yang musyahadah ditemukan Dzat-Nya. Orang yang muhadharah ditunjukan akalnya. Orang yang mukasyafah didekatkan ilmunya. Dan orang yang musyahadah dihapuskan oleh ma’rifatnya. 

Ilmu mukasyafah tidak bisa disamakan dengan ilmu-ilmu eksak dan sebagainya, umumnya memiliki metode-metode dan sistematika tertentu. Imam Al-Ghazali menyebutnya sebagai fauqa thuril ‘aqly (diatas puncak akal). Peredaran aqal yang paling tinggi adalah pada batas titik optimum yang kemudian dapat menurun kembali. Adapun ilmu ini berada pada orbit yang tidak mungkin dapat dicapai oleh akal. Hal itu hanya dapat diketahui dengan nur dari yang maha pencipta akal, yaitu Allah SWT.

Peristiwa mukasyafah adalah sesuatu keadaan yang bersifat indifidual, untuk pribadi-pribadi yang dikehendaki Allah dan berfungsi sebagai rahasia tersembunyi yang hanya diketahui si penemu dan Allah SWT. Penyebaran berita atas apa yang ditemukan itu secara luas ada kemungkinan banyak mendatangkan fitnah tuduhan-tuduhan negative atau dapat menimbulkan perasaan ‘ujub (rasa hebat sendiri) yang akibatnya dapat menghancurklan nilai-nilai penemuan. Untuk hal ini Imam At-Thustury menegaskan :

Ilmu terbagi atas tiga macam: Pertama ilmu dhohir (lahir) yang seyogianya ilmu ini disampaikan kepada umum. Kedua ilmu bathin yang tidak seharusnya disampaikan secara luas, kecuali kepada ahlinya. Ketiga, ilmu antaranya dan Allah yang tidak selayaknya disampaikan kepada siapapun juga.

PENGERTIAN MUSYAHADAH



MUSYAHADAH

Dari segi bahasa musyahadah itu berasal dari rumpun kata Syahida-Shaahada yg mempunyai arti bersaksi,menyaksikan.oleh karna itu seseorang belum dpt untuk dikatakan sebagai seorang islam jika orang tsb belum menyatakan akan akan dua kalimat shahadat.

Didalam bermusyahadah ini juga sangatlah dibutuhkan ,sebab segala peristiwa atau kejadian itu yg pertama di tanyakan adalah adanya penyaksian atau saksi. Untuk penyaksian ini lebih tinggi tingkatanya dari yg kedua tadi.

Akan tetapi kata mushahadah disini berarti penyaksian, yg berartikan bahwa suatu pandangan batin sebagai suatu penyaksian yg tidak diragukan lagi

Di dalam Al Qur'anul Karim disebutkan tentang musyahadah/penyaksian seperti Ayat di bawah ini :

"Sesungguhnya Akulah Tuhanmu, maka lepaskanlah sandalmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci." (Thaha 12)

"Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah Allah."(Al-Baqarah 115)

"Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepatuhan." (Al-An'aam 79)


Ibnu Athaillah menggambarkan secara bijak:

"Alam semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu siapa yang melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar-benar ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma'rifat oleh mendung-mendung duniawi semesta."

Musyahadah yaitu Menyaksikan Allah" hubungan dengan  mukasyafah, yang menghalangi diri hamba dengan Allah itu tidak ada,namun yang menghalangi adalah prasangka adanya sesuatu selain Alloh, dan Allah sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apa pun. Karena jika ada hijab yang bisa menutupi Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding Allah.

Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai-sampai seakan-akan melihatNya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa "Dialah yang melihat kita." Kesadaran jiwa bahwa Allah SWT melihat kita terus menerus, menimbulkanpantulan pada diri kita, yang membukakan matahati kita dan sirr kita untuk memandangNya.

Kesadaran menyaksikan dan Memandang Allah, kemudian mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yang berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat haliyah ruhaniyah (kondisi ruhani) masing-masing. Ada yang menyadari dalam pandangan tingkat Asma Allah, ada pula sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yang sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat-sifatNya, kemudian Asma'-asmaNya, lalu melihat semesta makhlukNya.

Lalu kita perlu mengoreksi diri sendiri lewat perkataan Abu Yazid al-Bisthamy, "Apa pun yang engkau bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bertempat, bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah SWT. Karena sifat-sifat tersebut adalah sifat makhluk."

Kontemplasi demi kontemplasi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid yang Kamil Mukammil hanya akan menggapai kebuntuan jalan dalam praktek Muroqobah, Musyahadah maupun Ma'rifah.
Bagi mereka yang dicahayai oleh Allah maka digambarkan oleh Ibnu Athaillah dalam al-Hikam:
"Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta'ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah.

Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemeseraan denganNya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala'ah."

Ibnu Athaillah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yang harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yang lain. Bukan dengan fikiran:

Mufatahah: artinya, permulaan hamba menghadapNya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma, Sifat dan keagungan DzatNya, agar hamba luruh di sana dan lupa dari segala yang ada bersamaNya.

Muwajahah, artinya saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit dan sejenak pun berpaling dariNya, tanpa alpa dari mengingatNya. Allah menemui dengan CahayaNya dan hamba menghadapnya dengan Sirrnya, hingga sama sekali tidak ada peluang untuk
melihat selainNya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia.

Mujalasah, artinya menetap dalam majlisNya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakanNya seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah swt berfirman dalam hadits Qudsi, "Akulah berada dalam majlis yang berdzikir padaKu."

Muhadatsah, maknanya dialog, yaitu menempatkan sirr (rahasia batin) dengan mengingatNya dan menghadapNya dengan hal-hal yang ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahayaNya meluas dan rahasia-rahasiaNya bertumpuan. Inilah yangdisabdakan Nabi saw, "Pada ummat-ummat terdahulu ada kalangan disebut sebagai kalangan yang berdialog dengan Allah, dan pada ummatku pun ada, maka Umar diantaranya."

Musyahadah, adalah ketersingkapan nyata, yang tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, "Syuhud itu dari penyaksian yang disaksikan dan tersingkapnya Wujud."

Muthala'ah, adalah keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, ketaatan dan batin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yang tampak senantiasa muncul rahasiaNya karena keparipurnaanNya.

Musyahadah artinya runtuhnya runtuh secara pasti." Musyahadah inilah yang meruntuhkan hijab dan bukan merupakan wujud dari keruntuhan hijab itu. Runtuhnya hijab diikuti dengan musyahadah.Dan nyatalah pada pandangan tentang Wujud yang terang.

Kamis, 15 Februari 2018

MAJZUBIEN ( ORANG YANG DIALIRI GETARAN DAYA TARIK HAQ )




AL MAJZUBIEN

1-PERBEDAAN SALIK DAN MAJZUB DALAM KITAB AL HIKAM

Di dalam Kitab Al Hikam Ibnu Atho'illah Al Askandary disebutkan

Dalla bi wujudi atsari -wa ala wujudi asma'ihi-wa bi wujudi asma'ihi ala stubuti auw shifati-wa stubuti auw shofatihi ala wujudi zatihi-iz mahalun any yaquwmal washfa binafsihi-Bi arbabul jazbi yaksyifu lahum ila ang kamaliz zatihi-stumma yarodduhum ila syuhudi shofatihi -stumma yarji'uhum ila ta'alluqi bi ama'ihi-stumma yarodduhum ila syuhudi atsarihi-Wa salikun ala a'ksi zalika fatihayatus salikin-bi dayatul majzubien wa bidayatus salikinu nihayatul majzubien-lakilla bimaknan wahidin farubbamal taqoya fitthoriqi -haza fi taroqihi-wa haza fi tadallih-
 

Terbukti dengan adanya alam semesta,adanya nama nama zatnya,adanya nama nama sifatnya,adanya sifat sifat zatnya,setiap zat pasti ada sifatnya,sifat tidak mungkin berdiri sendiri tanpa zatnya
 

Maka orang Majzub ( orang yang yang dialiri getaran daya tarik zatnya)dialah yang pertama kali mengenal dan terbuka baginya tentangkesempurnaan zatnya.
 

Kemudian menurun kepada orang yang mengenal/melihat sifatnya,kemudian menurun kepada orang yang mengenal/melihat as'manya,kemudian menurun kepada orang yang mengenal/melihat af'alnya,Dan sebaliknya orang orang salik mencari dari bawah ke atas dan puncak pencapaian akhir orang salik hanya sampai kepadapermulaan/awal orang majzubien ( orang yang dialiri oleh getaran daya tarik zatnya) .
 

Adapun puncak akhir bagi orang majzubien adalah pada awal/permulaan orang salik.Tetapi orang majzub dan orang salik berbeda,tidak sama dalam segala galanya.ketika orang salik mendaki mencari ilmu dari bawah ke atas.orang majzubien malah turun dari atas ke bawah.Hanya kadang mereka betemu ditengah perjalanan,namun ada yang naikdan ada yang turun.

 2-MAKRIFAT BAGI ORANG MAJZUB

Tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh secara biasa (Ma’rifat talimiyat), ilmu laduni bersifat tetap dan tidak dapat hilang atau terlupakan. Seseorang yang telah dianugrahi ilmu laduni disebut dengan ‘alim sejati’ (alim yang sebenarnya). Sebaliknya, seseorang yang tidak memperoleh dari ilmu laduni, belum bisa disebut sebagai alim sejati.

Hal ini dinyatakan oleh Abu Yazid al Bistami bahwa

“Tidaklah disebut sebagai alim (ma’rifat al-mazjub) jika seseorang masih memeproleh ilmunya dari hapalan-hapalan kitab, karena seseorang yang memperoleh ilmunya dari hapalan, pasti akan mudah melupakan ilmunya. Dan apabila ia lupa, maka bodohlah ia”


Seorang yang ‘alim (ma’rifat laduniyah) adalah orang yang memeproleh ilmunya langsung dari Allah menurut waktu yang dikehendaki-Nya, dengan tidak melalui hapalan dan pelajaran. Orang seperti ini pula menurut Muhammad Nafis disebut sebagai ‘alim ar-Rabani -orang yang berpengetahuan ketuhanan-.

Seperti yang disebutkan dalam Kitab Al Hikam Ibnu Atha'illah Al Askandary

Ma’rifat laduniyah juga dapat disebut Ma’rifat orang Majzub( orang yang dialiri oleh getaran daya tarik haq) juga dapat disebut ‘alim ar-Rabani yaitu orang yang langsung dibukakan oleh Tuhan untuk mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya,kemudian turun kepada yang mengenal af'alNya.

Disebutkan pula dalam Kitab Al Hikam Ibnu Atha'illah Al Askandary." Bi arbabul jizby wayangkasyifulahu kamiluz zatihi " yaitu orang orang yang dialiri daya tarik haq tersebut yang pertama mengenal kesempurnaan zatnya.

Tingkatan oerang majzub atau orang yang dialiri oleh getaran daya tarik haq ,disebutkan dalam Kitab Al Hikam Ibnu Atha'illah Al Askandary " Bahwa puncak orang salik adalah awal permulaan orang majzub,orang salik menuntut dan mencari dari bawah ke atas,namun orang majzub menurun dari mengenal kesempurnaan zat,kepada mengenal sifat-sifat,mengenal asma'-asma',dan kepada af'alNya.

Tinjaun secara ilmiah

Sulthan adalah sebuah kekuatan atau energi yang terdapat pada semesta ini, Syarikul Autad adalah kumpulan kekuatan kekuatan yang merupakan pusat energi atau dapat dikatakan inti zat yang selalu dikejar oleh ion ionnya sehingga menimbulkan gerak getaran gelombang yang terus menerus di alam ini dan terjadi senyawa senyawa baru dari ion ion yang melepaskan diri dengan ledakan ledakannya.

Jizbatul Haqqul Karomah adalah kekuatan daya tarik atau magnit kebenaran dari kemuliannya.atau dapat dikatakan daya tarik positip yang menjadi aura pada sebuah kekuatan.

Sulthan Syarikul Autad Jizbatul Haqqul Karomah,merupakan kekuatan daya tarik haq adalah fitrah yang meliputi fartikel zat semesta.yang merupakan potensi yang terdapat pada diri manusia.

Maspanji Sangaji Samaguna Indonesia ( MPSSGI ) adalah sebuah wadah sebagai tempat latihan untuk menumbuhkanan,pengembangan potensi jizby atau daya tarik yang nerupakan natural magnetik yang terdapat pada tubuh manusia.Apabila Jizby/jazbah atau daya tarik ini tumbuh kuat pada tubuh,maka tubuh akan bergetar.

Di dalam Kitab Darun Nafis Syeikh Al Banjari disebutkan ," Sebuah Daya Tarik,dan dari beberapa Daya Tarik Haq,tidak dapat disamakan dengan segala amalan bangsa jin dan manusia yang berat berat ",hal ini menjelaskan perbandingan kekuatan antara Jazbah/Daya Tarik Haq dan amalan.Dari satu biji zarah Daya Tarik Haq kadarnya lebih kuat dari segala amalan bangsa jin dan manusia yang staqoliyn yaitu amalan bangsa jin dan manusia yang berat berat.

Seperti kata Syeikh Al Jauhari orang orang yang dialiri oleh jizby atau daya tarik ini,maka tubuhnya akan bergetar,ibarat sepotong jarum yang didekatkan dengan magnit,Apabila potensi jazbah ini sudah tumbuh kuat pada diri manusia,dengan latihan latihan tertentu yang dikembangkan oeh Maspanji Sangaji Samaguna Indonesia ,maka jizby tersebut dapat digunakan untuk berbagai macam kebutuhan yang bersifat dzohir maupun bathin.


3-PERBEDAAN JAZBAH DAN SULUK

Para Masyaikh Naqsabandiyah mengatakan bahwa:

Meneruskan Zikir Ismu Zat akan menghasilkan Jazbah,Jazbah adalah daya tarikan daripada Allah dengan cepat,Zikir Nafi Itsbat akan menghasilkan perjalanan Suluk dengan cepat.Seseorang yang telah mendapatkan Jazbah/daya tarik oleh Allah swt dengan ciri cirinya seluruh tubuhnya bergetar ,digelarkan sebagai Mazjub Salik/majzubien ketika seseorangyang menempuh Suluk dengan Taufiq Allah swt,orang tersebut dipanggil sebagai Salik Mazjub.


4-PERBEDAAN ANTARA SALIK DAN MAJZUB

Ada perbedaan yang jelas antara Salik Mazjub dan Majzub Salik.Seorang Salik Mazjub telah melalui berbagai peringkat keruhaniandan mengetahui tentang seluk-beluk dalam perjalanan keruhanian.

Seorang Mazjub Salik adalah seperti seorang yang telah dibawa kekuatan daya tarik zatnya di dalam sebuah kekuatan daya tarik tanpa usahanya sendiridan tanpa hawa nafsu,pemikirin, keinginan dan kepandaian,hanya dengan daya tarikan zat atau Jazbah/jizby yang bergetar dengan gerak gelombang haq ,mereka mengenal segala rahasia ilahi semata mata karena jazbah/jizby,Jazbah akan bergerak dengan getaran refleksi zatnya.

Dalam Suluk, seseorang Salik menempuh perjalanan keruhanian dengan usaha dan amalannya,tetapi dalam Jazbah, segala peningkatan keruhanian  adalah sematamata limpahan karunia dari Allah swt.Selagi tidak ada Jazbah/ daya tarikan zatnya,maka seseorang itu tidak akan dapat mencapai darjat WilayatYaitu derajat Kewalian dari sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala 


5-PENDAPAT SYEIKH AHMAD FATANI TENTANG MAJZUB

Orang majzub adalah orang yang ditarik oleh kekuatan daya tarik Allah Taala ciri ciri majzub itu nyata,adalah seluruh tubuh bergetar dengan jizbynya atau grafitasi haq.

Diri ditarik bagai tarikan magnit kepada beberapa hal hal yang mulia dan kepada beberapa maqam yang tinggi dalam ilmu .daya tarik haq yang menarik dengan tempo yang singkat.Tarikan tersebut tanpa menggunakan kemauan ,pikiran dan kepandaian.
 

Orang ini dapat sampai kepada segala hal dan dapat mengenal segala maqam dalam masa yang singkat. seperti orang menaiki keretapi express dalam tempo 30 hari untuk perjalanan dapat dicapai dengan 3 hari saja Itulah perbandingan orang Majzub dan orang salik,
 

Kekuatan getaran daya tarik haqq itu berlaku pada orang orang rabbany yaitu mereka yang sudah tertarik oleh kekuatan atau Sulthan Syarikul Autadil Haq,ibarat sepotong jarum yang ditarik oleh magnit,sehingga seluruh tubuhnya bergetar.

Orang yang telah menafikan/meniadakan sifat sifat dirinya,dan sifat sifat kekuatan getaran haq menjadi gerak getaran gelombangnya pada dirinya,sehingga mereka tak memiliki daya kekuatan kecuali kekuatan jizbatul haq/kekuatan daya tarik haq.
 

Orang tertarik oleh kekuatan jazbah kepada sifat sifat Rabbaniyah, mereka dapat melihat rahasia rahasia asyiak disisi asyiak.

Segalanya terbuka baginya,semata mata dengan autadillah tiada daya dan upaya pada dirinya,tiadalah kekuatan dirinya ,fana'lah segala kekuatan dirinya yang ada dan nyata hanyalah sulthonulloh dalam gerak getaran gelombang haq,yaitu kekuatan haq yang menarik dengan daya tariknya jazbatul haqqul karomah,atau kekuatan kekuatan daya tarik kemuliannya .kekuatan itulah yang menarik dengan kekuatan zat,sifat,asma' dan af'alnya

Minggu, 02 Juli 2017

MAKRIFAT LADUNIYAH


MAKRIFAT LADUNIYAH

Ma’rifat laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan keadaan kasf, mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya.

Ibnu ‘Atha’illah Al Askandary memberikan istilah lain terhadap Ma’rifat laduniyah dengan sebutan Ma’rifat orang majzub. Ma’rifat orang majzub yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Atha’illah merupakan sebuah daya tarik haq yang seketika tanpa perantara.Menurut Syeh Al Jauhari Orang Majzub itu adalah orang mendapatkan daya tarik haq,ibarat sepotong jarum yang didekatkan dengan magnit maka tubuhnya bergetar.

Lebih jauh, kalangan sufi tersebut menyatakan bahwa orang yang telah mengenal Allah, juga akan dianugrahi Ilmu laduni. Ilmu laduni merupakan ilmu yang di ilhamkan oleh Allah Swt. Kepada hati hamba-Nya tanpa melalui suatu perantara (wasitaha), sebagaimana perantara yang pada umumnya dibuat untuk memeperoleh ilmu pengetahuan.

Tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh secara biasa (Ma’rifat talimiyat), ilmu laduni bersifat tetap dan tidak dapat hilang atau terlupakan. Seseorang yang telah dianugrahi ilmu laduni disebut dengan ‘alim sejati’ (alim yang sebenarnya). Sebaliknya, seseorang yang tidak memperoleh dari ilmu laduni, belum bisa disebut sebagai alim sejati. Hal ini dinyatakan oleh Abu Yazid al Bistami bahwa

“Tidaklah disebut sebagai alim (ma’rifat al-majzubien yaitu orang orang yang mendapatkan daya tari haq) jika seseorang masih memeproleh ilmunya dari hapalan-hapalan kitab, karena seseorang yang memperoleh ilmunya dari hapalan, pasti akan mudah melupakan ilmunya. Dan apabila ia lupa, maka bodohlah ia”

Seorang yang ‘alim (ma’rifat laduniyah) adalah orang yang memeproleh ilmunya langsung dari Allah menurut waktu yang dikehendaki-Nya, dengan tidak melalui hapalan dan pelajaran. Orang seperti ini pula menurut Muhammad Nafis disebut sebagai ‘alim ar-Rabani -orang yang berpengetahuan ketuhanan-.

Dengan demikian Ma’rifat laduniyah juga dapat disebut Ma’rifat orang Majzub ( orang orang yang dialiri oleh getaran daya tarik haq ) juga dapat disebut ‘alim ar-Rabani yaitu orang yang langsung dibukakan oleh Tuhan untuk mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya.

Firman Allah dalam al-Qur’an :


اتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَاوَعَلَمْنَاهُ مِنْ لَدُنّاَعِلْمًا الكهف

Artinya : “…yang telah berikan padanya rakmat dari sisi kami, dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami” (al-Kahfi : 65).

Ma’rifat laduniyah tidak jauh bedanya dengan ‘alim Rabbani yang berbeda dengan Ilmu yang dipelajari para Ilmuwan, dalam istilah al-Ghazali disebut dengan Ilmu ta’limiyat. Namun, keduanya tetap berhubungan. Hubungan antara keduanya, menurut al-Ghazali laksana naskah asli dengan duplikatnya. Hal ini mirip dengan teori plato bahwa Ilmu yang ada di alam ide itu lebih murni dari pada ilmu yang telah digelar di alam raya, namun kedunya persis sama, seperti halnya naskah asli dengan duplikatnya atau fotokopinya.

Ilmu laduniyah, ‘alim Ar-Rabani, ‘alim sejati, dan Ma’rifat orang majzub yaitu orang orang yang dialiri oleh getaran daya tarik haq, dapat dicapai dalam keadaan tiba tiba terbuka hijab tanpa hawa nafsu ,keinginan,kemauan dan tanpa kepandaian atau Kasyf, sedang ilmu ta’limyah hanya dapat dipelajari oleh para ilmuwan setapak demi setapak dengan susah payah. Oleh karena itu, para sufi tidak tertelan belajar melalui pengkajian buku-buku atau penelitian secara radikal terhadap kenyataan alamiyah seperti halnya ilmuwan. Para sufi menginginkan jalan pintas untuk memperoleh sumber asli dari segala ilmu yang tersurat di lauh mahfudz.

Kasf dan Zauq itu berada dalam kondisi Ma’rifat, karena Ma’rifat memiliki hubungan yang erat dengan musyahadah dan mukasyafah. Ma’rifat itu sendiri merupakan ajaran Tasawuf, yang pada garis besarnya merupakan ajaran kesucian jiwa, yaitu semata-mata untuk memasuki hadharah al-qudsiyah (hadirat kesucian) atau hadharah Rububiyah (hadirat ketuhanan), akan tetapi dalam hal ini, Ma’rifat lebih signifikan karena keberadaan musyahadah dan mukasyafah bergantung pada Ma’rifat dan dengan Ma’rifat pula, ilmu laduni ikut menyertainya.

Dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan hikmahnya sebagai berikut :

اَشْهَدَكَ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَسْتَشْهَدَكَ فَنَطَقَتْ بِإِلَهِيَّتِهِ الّظَوَهِرُوَتَحَقَّقَتْ بِأَحَدِيـــَّــتِهِ الْقُلُوْبُ وَالسَّرَاِئرِ

Artinya : “Allah memperlihatkan Dzat-Nya kepadamu sebelum Dia menuntut kepadamu harus mengeakui keberasan-Nya. Maka anggota lahir mengucapkan (mengakui) sifat ke-Tuhanan-Nya dan hati menyatakan dengan sifat-sifat ke Easaan-Nya.